Rasulullah SAW tampak bersiap keluar rumah. Hari itu, Nabi saw akan pergi ke Ka’bah, bertemu dengan Abu Bakar. Setelah pamit dengan Khadijah, Rasulullah saw bergegas menuju pintu rumah. Wajahnya terkejut sesaat setelah pintu terkuak. Tepat di depan rumahnya, berserakan kotoran dan duri. Beliau tidak marah. Manusia pilihan itu tidak mengeluh dan berteriak memaki-maki.
Dengan lembut, Muhammad saw berkata, “Bagaimana perlakuan tetangga ini?”
Siapakah pelaku perbuatan tak pantas itu? Ia adalah Ummu Jamil, istri Abu Lahab. Ia menjadi salah satu orang yang tak kenal lelah meneror Rasulullah saw. Pernah, suatu saat ia mencari Rasulullah saw dengan membawa batu besar di tangannya setelah mendengar ada ayat-ayat al-Qur’an yang mengisahkan tentang dirinya dan suaminya.
“Di mana Muhammad? Di mana Muhammad?” teriaknya kepada setiap orang yang ditemui sepanjang jalan.
“Muhammad ada di Ka’bah bersama Abu Bakar,” kata seseorang kepada Ummu Jamil.
Ia segera mengayunkan langkah menuju Ka’bah. Sorot matanya tajam. Bara api amarah begitu menggelora di dalam jiwanya. Saat tiba di Ka’bah, ia bertemu dengan Abu Bakar.
“Di mana sahabatmu itu?” kata Ummu Jamil dengan napas terengah-engah.
Abu Bakar heran mendengar pertanyaan itu. Apa yang terjadi pada diri orang ini, pikir Abu Bakar. Tidakkah wanita ini melihat bahwa Nabi saw jelas-jelas sedang duduk di samping dirinya.
Belum sempat Abu Bakar menjawab, Ummu Jamil lantas berkata, “Dia membuat syair tentangku, aku pun bisa membuat syair tentangnya.”
Yang tercela, kami menentangnya … Perintahnya, kami abaikan … Agamanya, kami benci …
Syair itu membuat orang Quraisy memanggil Nabi saw dengan sebutan “yang tercela”. Para sahabat Nabi saw sangat malu, tetapi beliau menenangkan mereka.
“Biarkanlah. Karena sesungguhnya yang mereka caci adalah yang tercela, sedangkan aku adalah Muhammad (Yang terpuji).”
Setelah Ummu Jamil berlalu, Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau melihat bahwa dia tidak dapat melihatmu?”
“Dia tidak dapat melihatku. Allah telah membutakan pandangannya,” jawab Rasulullah saw.
Begitulah, betapa besar hati Rasulullah, hingga ia mampu untuk bersabar atas segala hina dan caci maki dari musuh-musuhnya. Beliau bahkan mengajarkan kita, umatnya, bahwa tidaklah kita perlu marah apabila ada seseorang yang menghina kita, namun kita tahu bahwa hinaan itu tidak benar.
“Biarkanlah. Karena sesungguhnya yang mereka caci adalah yang tercela, sedangkan aku adalah Muhammad (Yang terpuji).”
Ibarat pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu … maka biarkan saja orang berkata apa, jika hinaan itu tidak benar, lanjutkan kehidupan kita dengan baik dan jangan berhenti menyebarkan energi positif kepada siapa pun.
***
Disadur dari buku the Great Story of Muhammad terbitan Maghfirah Pustaka
The ad is displayed on the page
current post: Kotoran dan Duri di Rumah Rasulullah, ID: 2099
Ad: ads bawah pst (35603)
Placement: After Content (after-content)
Display Conditions
Ad | wp_the_query |
---|---|
post | post |
Find solutions in the manual