Nabi Muhammad SAW Nan Penyabar

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai rasul kepada seluruh manusia. Hari-hari pertama kerasulannya, ia terkepung oleh kekufuran yang merajalela. Sembunyi-sembunyi berdakwah pun ia lakukan, demi Islam yang ia sebarkan. Seringkali ia menerima hinaan, cacian, perlakuan kasar, bahkan kekerasan, karena risalah iman yang ia sampaikan. Meski demikian, ia tetap tenang, tabah melangkah, dan selalu sempurna menjaga sikap karena komitmennya pada tauhid yang sangat dalam.

Rasul teladan ini selalu tenang menghadapi pelbagai persoalan. Dalam batinnya tak pernah terlintas sedikit pun keinginan untuk mengingkari Tuhan, ataupun meragukan-Nya. Andai orang ini bukan Nabi Muhammad, ia pasti akan mengeluh, “Ya Tuhanku, Engkau Maha kuasa menolongku, lalu mengapa Engkau tinggalkan aku dihina sendirian?”

Saat penulisan Perjanjian Hudaibiyah, ia berseberangan pendapat dengan Umar bin Khaththab. Umar memprotesnya, “Bukankah kita berada di jalan yang hak? Mengapa kita harus mengalah untuk kepentingan agama kita?” Namun, dengan santun ia menjawab, “Aku adalah hamba Allah dan Dia tidak akan pernah menyia-nyiakanku.” Sebuah jawaban yang menyiratkan kepasrahannya kepada Sang Maha kuasa, keridhaannya kepada segenap anugerah-Nya, serta keyakinannya kepada janji-Nya.

Ketika para sahabatnya banyak yang gugur dalam Perang Uhud, dan wajahnya dihujani bebatuan, gigi gerahmnya pecah, serta Hamzah—sang paman terkasih—tewas mengenaskan, ia tetap tenang dan ridha menghadapi semua itu.

Putra dan putrinya yang ia cintai juga mendahuluinya menghadap Sang Pencipta. Ia berduka namun tetap sabar dan ridha menerima ketetapan-Nya. Ketika fitnah tentang ‘Aisyah diembuskan oleh orang-orang munafik, ia juga bersabar sekaligus berhati-hati menyikapi hingga turun wahyu Ilahi.

Berbagai macam mukjizat juga sudah menegaskan kerasulannya. Namun, tetap saja ada orang-orang yang ingin menandinginya dan mengaku diri sebagai nabi. Muncullah Musailamah al-Kadzdzab, Aswad al-Ansi, dan Ibnu Shayyad.

Sepanjang hidupnya ia dikenal jujur oleh masyarakatnya. Gelar al-Amin—yang tepercaya—pun disandingkan di belakang namanya oleh orang-orang sekitarnya. Namun, tetap saja banyak orang yang menuduhnya sebagai pembohong, ahli sihir, dan bahkan orang gila. Semua itu ia hadapi dengan sabar dan lapang dada.

Bandingkan dengan nabi-nabi yang lain. Menghadapi kedurhakaan kaumnya, Nabi Nuh ‘alaihis salam berdoa kepada Allah,

رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا

“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” (QS. Nuh [71]: 26)

Lain pula yang diserukan Nabi Musa ‘alaihis salam saat melihat kaumnya menyembah patung sapi,

أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا

“Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?” (QS. Al-A’raf [7]: 155)

Simaklah doa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penolakan kaumnya,

اللّهُمَّ اهْدِ قَوْمِي ، فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku. Sesungguhnya mereka tidak tahu tentang-Mu.”

Atau ketika ia dan keluarganya tidak memiliki apa pun untuk dimakan,

الْلَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آَلِ مُحَمَّدٍ قُوْتا

“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar sesuap makanan yang cukup untuk dimakan.”

Inilah Nabi Muhammad, Rasulullah, sosok manusia yang paling mengenal Allah.

Wallahu A’lam.

***
Disadur dari buku Shaidul Khatir, karya Imam Ibnu al-Jauzi, terbitan Maghfirah Pustaka 
(Penyadur: Ustadz Dahyal Afkar)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Scroll to Top