Salah satu Bab yang terdapat dalam buku Teruntuk Sepasang Kekasih
Cinta semata tidak dapat menjadikan kehidupan rumah tangga bahagia. Dalam cinta, hati menjadi penggerak dan nahkodanya, sedang dalam pernikahan, semua ditentukan oleh akal, logika, dan kebutuhan hidup. Pada saat tertentu, hati dan akal saling bertentangan. Cinta –meski kita yakin ia adalah fondasi kebahagiaan rumah tangga, jika tidak didukung oleh sikap saling kasih sayang, perhatian, dan lemah-lembut antara suami dan istri, maka tentu tidak akan membuahkan cinta ideal yang dapat membahagiakan setiap pasangan.
Cinta merupakan sentuhan terdalam yang dirasakan seseorang terhadap orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, cinta merupakan penggerak utama dalam setiap perbuatan dan tingkah laku kita yang positif. Saya katakan ‘utama’, bukan? Iya, cinta adalah penggerak utama, namun bukan satu-satunya. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (ar-Rûm [30]: 21)
Jika kita cermati, dalam ayat ini Allah merumuskan 2 hal utama dalam sebuah pernikahan, yaitu rasa kasih dan sayang. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbâs berpendapat, “Rasa kasih adalah bentuk cinta seorang suami kepada sang istri. Adapun rasa sayang adalah bentuk perhatian seorang suami kepada istri agar jangan sampai menyakitinya.” Rasa sayang bukanlah simpati yang sementara, tetapi rasa itu muncul dari perasaan lembut yang selalu ada, perilaku yang santun, dan kepribadian mulia.
Meski kita yakin cinta adalah kata kunci dalam kehidupan rumah tangga, namun kita harus ingat cinta pada dasarnya adalah hubungan perasaan yang ditentukan oleh gerak hati, sedangkan pernikahan adalah hubungan logis yang ditentukan oleh akal. Dalam situasi tertentu, kadang terjadi benturan antara hati dan akal.
Cinta adalah sentuhan perasaan jiwa yang mampu menerbangkan orang yang merasakannya ke alam mimpi, sedangkan pernikahan merupakan transaksi materi yang menentukan hak dan kewajiban yang harus di taati oleh kedua belah pihak.
Kealpaan salah satu pihak dalam melaksanakan kewajiban dapat menggoyahkan kehidupan rumah tangga. Bahkan, dapat menggoyahkan makna cinta itu sendiri. Akibatnya seorang istri sampai berharap, “Seandainya suamiku mencintaiku, pasti dia akan melakukan ini.” dan suaminya mengeluh, “Andai saja istriku mencintaiku, pasti dia akan melakukan ini.” Kunci kebahagiaan rumah tangga terletak pada “kekayaan rasa” yang dimiliki oleh suami-istri, baik rasa sayang, saling pengetian, lemah-lembut, maupun pengabdian. Semua ini menyuburkan cinta dan membantu dalam menghadapi problematika kehidupan.
Selain itu, cinta dapat layu dan luntur seiring berlalunya waktu. Penggerak kedua, yaitu rasa sayang, dapat berperan untuk mendorong roda kehidupan rumah tangga agar terus berputar. ‘Umar bin Khaththâb menekankan pentingnya makna rasa sayang dalam sebuah pesannya. Suatu hari seorang suami hendak mencerai istrinya. Saat ‘Umar menanyakan alasan keinginannya itu, ia menjawab, “Aku sudah tidak mencintainya lagi.” ‘Umar berkata, “Celaka, bukankah rumah tangga itu dibangun di atas fondasi cinta? Lalu di mana perlindungan dan pengayomanmu pada istri?”
Pernikahan bukanlah idealisme seperti yang ditayangkan dalam film-film atau sering didendangkan para biduan. Pernikahan ibarat istana yang dibangun secara bertahap. Setiap hari berlalu, ia semakin kuat dan kokoh. Kita harus melihat kehidupan rumah tangga secara menyeluruh, dari sisi positif maupun negatif, suka maupun duka. Kehidupan rumah tangga adalah perjuangan melawan kesulitan dan berlayar di atas ganasnya ombak.
Pernikahan tidak akan langgeng, jika nahkoda tidak mampu membuktikan kepiawaiannya saat berlayar menembus terjangan ombak. Ini hanya dapat tercapai, jika nahkoda menggunakan dua dayung, yaitu kasih dan sayang. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman,
…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (an-Nisâ’ [4]: 19)