Kalau kita sedang sakit, kita akan pergi kepada orang yang mengaku dirinya seorang dokter dan kita percaya (believe) bahwa dirinya benar-benar seorang dokter, bukan dokter gadungan. Setelah berjumpa dengan orang yang kita percaya bahwa dirinya adalah dokter sungguhan, kita akan berinteraksi dengannya sehingga kita dapat merasakan bahwa dia memang berkompeten untuk mengobati kita.
Jika kepercayaan terhadap kompetensinya telah terbangun maka kita telah meletakkan kepercayaan (trust) kepadanya. Sehingga ketika dia memberikan terapi atau resep obat, kita akan menerimanya dan mengikuti nasihatnya.
Sekitar setahun yang lalu saya datang ke sebuah RS swasta di Bekasi untuk kontrol ke dokter spesialis. Sayangnya pada hari itu dokter langganan saya tidak praktik. Praktik dia pada hari itu digantikan oleh seorang sejawatnya yang belum saya kenal.
Setelah lama menunggu, saya dapat giliran untuk masuk ke ruang periksa. Setiba di ruang periksa, saya terkejut karena mendapati bahwa dokter pengganti pada hari itu adalah seorang laki-laki lanjut usia yang terkena osteoporosis, sehingga dia harus terbungkuk-bungkuk saat berjalan.
Saat berdialog dengan saya, beberapa kali dia meminta saya mengulang jawaban saya karena pendengarannya telah berkurang. Sehingga saya tidak yakin apakah dia benar-benar mendengar perkataan saya. Maka ketika dia memberikan resep, saya tidak tebus resepnya. Sebab saya percaya (believe) bahwa dia dokter sungguhan, tetapi saya tidak menaruh kepercayaan (trust) padanya bahwa dia masih kompeten mengobati orang.
Jadi, pada perkara yang terkait dengan keselamatan diri, percaya (believe) saja tidak cukup. Harus juga ada trust yang menyertainya.
Begitu pula dalam hal iman kepada Allah. Iman kepada-Nya tidak cukup dengan believe bahwa Tuhan itu ada dan hanya ada satu Tuhan, yaitu hanya Allah Yang Maha Tunggal. Iman juga harus disertai dengan sikap trust kepada-Nya, bahwa Dia Maha Berkompeten atas segala hal.
Iman kepada Allah harus disertai dengaa sikap trust terhadap semua kehendak-Nya dan ketetapan-Nya, bahwa apa pun yang Dia kehendaki dan Dia tetapkan adalah berakibat baik bagi orang yang beriman kepada-Nya.
Jika kita sungguh-sungguh beriman kepada Allah, maka kita percayai apa pun yang tertulis pada kitab-Nya adalah benar dan sempurna, berlaku sepanjang masa hingga semesta berakhir. Tidak ada keraguan pada firman-Nya.
Jika ada satu saja ayat yang engkau ragukan kebenarannya atau kau ragukan kecocokannya dengan perkembangan zaman maka itu berarti kau telah meragukan kompetensi-Nya untuk membuat kitab yang sempurna. Kau tidak trust kepada Tuhanmu.
Iblis adalah contoh sosok yang believe kepada Allah, tapi tidak trust kepada-Nya. Maka ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepada Adam, Iblis yang saat itu berada dalam barisan malaikat, enggan untuk ikut bersujud kepada Adam. Iblis gagal paham terhadap Allah.
Iblis gagal memahami bahwa Allah Mahabenar, sehingga tidak pernah satu pun keputusan dan perintah-Nya yang salah. Ketetapan dan perintah-Nya senantiasa benar dan senantiasa menghasilkan kebaikan pada setiap makhluk yang menaati-Nya.
Sebaliknya adalah sosok Nabi Ibrahim, orang yang believe dan trust kepada Allah 100%. Baginya, kalau Allah yg memerintahkan sesuatu, meski terasa tak masuk akal, maka nilai kebenarannya 100%.
Perintah menyembelih anak kandung adalah perintah yang tidak masuk akal jika yang memerintahkan bukan Allah. Tapi karena yang memerintahkan adalah Allah, maka nilai kebenarannya 100%. Tidak ada setitik pun keraguan padanya. Ibrahim yakin, pasti perintah itu bernilai baik.
Ibrahim tunaikan perintah itu dan dia dapati Allah Mahabenar dan Mahabaik. Dia tak pernah mengeluarkan perintah yang zhalim kepada hamba-Nya.
***
Dikutip dari twitter @hamiwanto (Saiful Hamiwanto)
The ad is displayed on the page
current post: Iman, Lebih Dari Sekadar Percaya, ID: 2241
Ad: ads bawah pst (35603)
Placement: After Content (after-content)
Display Conditions
Ad | wp_the_query |
---|---|
post | post |
Find solutions in the manual