Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah figur pemimpin paling berpengaruh yang hingga hari ini dihormati oleh banyak manusia. Kepemimpinan beliau sudah banyak diapresiasi dan diakui bahkan oleh para tokoh dan sarjana non Muslim. Sebut saja di antaranya Mahatma Gandhi, Michael H. Hart, dan Thomas Carlyle.
Mahatma Gandhi menyatakan, “Saya merasa lebih dari yakin bahwa pedang bukanlah cara yang ditempuh Nabi Islam untuk mendapatkan tempat di hati manusia, melainkan ia datang dari kesederhanaan, kejujuran, tekad, keberanian, dan keyakinannya kepada Tuhan dalam menjalankan tugasnya. Sifat-sifat pada diri Nabi itulah yang membuka jalan dan menyingkirkan segala rintangan, dan sekali lagi bukan pedang. Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 buku Biografi Muhammad, saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari yang agung.” (The Great Story of Muhammad, 586).
Bahkan Thomas Carlyle, penulis dan sejarawan dari Skotlandia pada era Victoria, mengecam para koleganya yang begitu saja percaya pada kampanye hitam terhadap nama besar Muhammad. Dalam bukunya On Heroes: Hero-Worship and the Heroic in History, ia menulis, “Salah satu aib terbesar hingga hari ini ialah jika seorang cendekiawan menerima ucapan yang mengatakan bahwa Islam adalah bohong dan Muhammad adalah seorang penipu.”
Ia lalu menandaskan, “Sejak awal kehidupannya, Muhammad dikenal sebagai pemuda yang pandai. Teman-temannya memberinya gelar al-Amin (yang terpercaya). Kondisinya sangat jelas di mata masyarakat. Ia mencuci pakaian dan memperbaiki sepatu sendiri. Ia gemar bermusyarawah dengan orang lain dan dengannya ia memimpin rakyatnya. Sesukalah kalian menyebutnya. Tidak ada raja dan kaisar dengan segala kemewahan, mahkota, maupun kekayaannya yang lebih ditaati dibanding Muhammad, pemimpin yang mencuci pakaiannya sendiri. Manusia besar ini sepanjang 23 tahun dengan beragam kesulitan dan cobaan tetap tegar dan saya menyebutnya sebagai seorang pahlawan dan memang ia layak mendapat gelar ini.”
Maka tak heran, sebagaimana sudah kita baca bersama, jika Michael H. Hart meletakkan Muhammad pada peringkat pertama dari 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah.
Kesuksesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memimpin, selain karena dukungan wahyu, ditopang oleh empat sifat utama beliau, yaitu:
Pertama, shiddiq yang artinya jujur. Kejujuran adalah sikap utama yang selalu dipegang Rasulullah dalam memimpin. Beliau dikenal luas oleh masyarakat Arab kala itu sebagai sosok yang sangat jujur dan jauh dari dusta.
Bahkan, beliau sendiri menegaskan,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ، وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kejujuran ini pula yang semestinya tertanam dalam diri setiap pemimpin. Pemimpin yang jujur tidak akan membohongi rakyat dan jauh dari pencitraan. Ia akan jujur kepada dirinya sendiri maupun kepada rakyat. Sebab pemimpin yang jujur memahami, bahwa kejujuran akan membawa kebaikan dalam segala hal.
Kedua, amanah yang artinya mampu menjalankan sekaligus menjaga kepercayaan yang diembankan di pundak secara profesional. Sikap amanah ini sudah mengakar kuat pada diri Rasulullah semenjak beliau masih berusia sangat belia. Bahkan pada detik-detik terakhir hijrah dari Makkah menuju Madinah, Rasulullah masih berpesan kepada Ali ibnu Abi Thalib untuk mewakili beliau memulangkan kembali semua barang dan harta titipan warga Makkah.
Sifat amanah ini juga seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin di negeri ini. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi. Pemimpin yang amanah akan menyadari bahwa ia mengemban amanah untuk melayani kepentingan rakyat, bukan menjadi pelayan kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan partai, kepentingan pemilik modal, atau bahkan kepentingan asing. Ketidakjujuran, ingkar janji, dan kegagalan mengemban amanah adalah ciri orang munafik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَثَ كَذِبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan dalam sebuah riwayat lain, hadits di atas diakhiri dengan pernyataan Rasulullah,
وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ
“Walaupun ia berpuasa dan shalat serta mengklaim dirinya muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, tabligh yang berarti menyampaikan kebenaran dan berani mengungkap kebathilan. Kepemimpinan Rasulullah ditopang oleh sikap transparansi, keterbukaan, dan selalu menyuarakan kebenaran apa pun risikonya. Sehingga, tak dapat dihindari, sikap terang-terangan beliau dalam menyampaikan kebenaran ini mengundang kemarahan para pemuka kafir Quraisy.
Suatu hari, delegasi Quraisy pun datang menemui Abu Thalib untuk memberikan tawaran menggiurkan kepada Rasulullah asal beliau berhenti berdakwah. Namun, Rasulullah menanggapi mereka dengan memberikan pernyataan tegas seraya memberikan sebuah ilustrasi indah yang memupuskan mimpi delegasi Quraisy,
يَا عَمّ ، وَاَللّهِ لَوْ وَضَعُوا الشّمْسَ فِي يَمِينِي ، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الْأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللّهُ أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ مَا تَرَكْتُهُ
“Wahai pamanku, demi Allah, seandainya mereka letakkan mentari di tangan kananku, dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan da’wah ini, hingga Allah memenangkannya atau aku binasa bersamanya, aku tetap tidak akan mau meninggalkannya.” (HR. Baihaqi)
Seorang pemimpin harus memiliki sifat tabligh ini. Selain berani menyuarakan kebenaran dan berani dinilai secara kritis oleh rakyat, pemimpin yang tabligh tidak akan bisa dibeli dengan kekuatan apa pun. Ia tegas dalam pendirian dan tegar dalam prinsip membela kebenaran.
Keempat, fathanah yang artinya cerdas. Kecerdasan dan kemampuan menguasai persoalan sekaligus mengatasi masalah mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberikan arahan, menentukan kebijakan, dan mengambil keputusan selalu mendasarkan pandangan beliau pada ilmu. Seorang pemimpin harus cerdas dan berilmu. Dari pemimpin yang cerdas dan berilmu akan lahir kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Bukan kebijakan yang merugikan dan menyengsarakan rakyat banyak.
Wallahu A’lam.
****
(Penulis: Ustadz Dahyal Afkar)
The ad is displayed on the page
current post: Empat Sifat Nabi: Sifat yang Mesti Ada pada Diri Para Pemimpin, ID: 1111
Ad: ads bawah pst (35603)
Placement: After Content (after-content)
Display Conditions
Ad | wp_the_query |
---|---|
post | post |
Find solutions in the manual