Sebagai orang beriman tentu kita tahu dan sadar bahwa diri kita dan apapun yang ada di dunia ini milik Allah. Apalagi Allah telah menegaskan hal ini dalam kitab sucinya:
Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Baqarah [2]: 284)
Karena itu, sesungguhnya Allah memiliki kuasa penuh atas semua yang dimilikinya, termasuk terhadap diri kita. Apakah Allah mau menghidupkan, mematikan, melapangkan rizki atau menyempitkannya, memberi nikmat atau mengazab; semuanya terserah Dia.
Dengan demikian sesungguhnya manusia sangat tergantung kepada kehendak Allah. Seandainya ada banyak orang hendak membunuh si fulan, tapi kalau Allah berkehendak menghidupkan dia, maka dia akan tetap hidup, sebagaimana Allah telah menyelamatkan dan membiarkan Nabi Ibrahim tetap hidup meskipun dia dihukum bakar oleh rezim Raja Namruz.
Begitu pula sebaliknya, meskipun si fulan dijaga kesehatannya oleh sebuah tim yang terdiri dari puluhan dokter yang sangat ahli, namun kalau Allah berkehendak mematikannya, maka tak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan nyawanya.
Karena begitu mutlaknya kekuasaan Allah terhadap manusia, maka sepatutnya manusia takluk dan menyerah kepada Allah. Seharusnya dia tunduk dan patuh atas apa saja yang Allah perintahkan kepada-Nya.
Kalau ada sepasukan tentara yang menyerah kalah kepada lawannya lalu menjadi tawanannya, maka di bawah todongan senjata, tentara itu akan mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh musuhnya.
Begitu pula para budak kerajaan, akan selalu mematuhi apa saja perintah raja, meskipun raja tidak memberikan upah sepeser pun kepada mereka.
Kita sadari, Allah jauh lebih berkuasa daripada raja ataupun musuh tentara itu. Allah tidak hanya dapat mematikan sepasukan tentara manusia, tetapi Dia dapat mematikan semua tentara yang ada di muka bumi secara serentak. Semua itu mudah bagi Allah. Karena itu seharusnya perintah Allah lebih dipatuhi daripada perintah siapapun yang ada di bumi ini.
Menariknya, meskipun kekuasaannya begitu mutlak, meski kita semua adalah ciptaan-Nya dan budak-Nya, namun karena Allah memiliki sifat asy-Syakur (Maha Balas Jasa) dan al-Haliim (Maha Penyantun), Dia tidak memerintahkan sesuatu kecuali Dia akan memberikan balas jasa kepada hamba yang Dia perintahkan. Perintah-Nya tidak gratis, tapi ada bayaran-Nya.
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-Baqarah [2]: 281)
Yang lebih menarik lagi, bayaran yang Allah tawarkan bukan dalam kerangka kesepakatan kerja majikan-buruh, karena biasanya buruh digaji lebih kecil daripada jerih payahnya. Yang Allah tawarkan dalam al-Qur`an adalah kerangka kesepakatan bisnis, berupa pinjam-meminjam dengan bunga pinjaman yang berlipat ganda serta jual-beli dengan nilai tukar yang sangat tidak sebanding; ibarat meminjam seekor nyamuk, lalu mengembalikan dalam bentuk seekor kuda atau membeli seekor lalat dengan bayaran seekor unta.
Berikut ini transaksi pinjam meminjam yang Allah tawarkan:
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun. “ (At-Taghabun [64]:17).
Adapun transaksi kedua yang Allah tawarkan adalah transaksi jual-beli atau perdagangan:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah [9]: 111)
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (Faathir [35]: 29)
Jadi setiap orang yang sudah baligh (mencapai usia kesempurnaan akal) adalah pebisnis yang bertransaksi dengan Allah.
Semua modal bisnisnya (kehidupannya, kesempurnaan tubuhnya, kesempurnaan akalnya, kesehatannya, kepandaiannya, perasaannya, intuisinya, dan lain-lain) berasal dari Allah. Dia tinggal memutar roda usahanya dengan modal tersebut.
Transaksi bisnisnya adalah semua perbuatan dirinya sejak dia baligh sampai malaikat maut datang menjemputnya. Dan semua transaksi itu tercatat rapi serta detil. Tak ada secuil pun, bahkan tak ada sebesar dzarrah (atom) pun yang terluput oleh malaikat sang juru catat.
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan. Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.” (Al-Qamar [54]: 52-53)
Begitu detilnya buku catatan itu, sehingga kelak para pendosa terperanjat kaget ketika menerima rapor mereka yang kebakaran itu.
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun”. (Al-Kahfi [18]:49)
Setelah itu seluruh manusia dikumpulkan pada sebuah forum pengadilan yang dipimpin oleh Sang Pemilik Modal sendiri selaku Ahkamil Hakimin (Sang Hakim Yang Maha Adil) di suatu hari yang dinamakan Yaumul Hisab (Hari Penghitungan rugi/laba).
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)-nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al-Anbiya [21]: 47)
Berapa banyak manusia yang berhasil membukukan laba? Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Sang Pemilik Modal Yang Maha Kaya—sekaligus Sang Hakim Maha Adil—itu telah menyebarkan bocoran informasi bahwa hampir semua “mitra bisnisnya” gagal membukukan laba. Hasil auditing terhadap terhadap neraca keuangannya menunjukkan hasil bahwa bisnis mereka membukukan kerugian.
Tapi ada juga yang membukukan keuntungan dalam berbisnis dengan Allah. Siapa mereka? Simak saja bocoran di bawah ini:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian (gagal membukukan laba dalam bertransaksi dengan Allah), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr [103]: 1-3)
Selamat bertransaksi dengan Allah. Semoga transaksi kita membukukan laba.
***
(Saiful Hamiwanto, anggota Majelis Pertimbangan Wilayah (MPW) Hidayatullah Jakarta).
Sumber: Lembar Jum’at Al-Qalam No 19 | 1434 H
The ad is displayed on the page
current post: Berbisnis dengan Allah; Bisnis yang Tak Akan Pernah Merugi, ID: 1793
Ad: ads bawah pst (35603)
Placement: After Content (after-content)
Display Conditions
Ad | wp_the_query |
---|---|
post | post |
Find solutions in the manual